
Di sebuah alun-alun kota Nazareth, tepat di
sebelah kanan Basilika Annunciation (Gereja yang menurut tradisi
dianggap sebagai lokasi dimana Maria menerima kunjungan Malaikat
Gabriel, yang memberitahukan bahwa ia akan mengandung dari Roh Kudus),
ada sebuah ayat Quran yang memperingatkan: “Siapa pun yang mencari
agama lain selain Islam, maka ia tidak akan pernah diterima olehNya
(Allah), dan di kehidupan yang akan datang ia akan menjadi orang-orang
yang rugi.” Tetapi yang sebenarnya mengalami kerugian di sini
dan saat ini, dan yang merasa paling dihantui adalah orang-orang Kristen
yang jumlahnya semakin kecil, justru di tanah tempat kelahiran Kristus.
Di kota asal Yesus, dimana semuanya dimulai 2
milenium yang lalu, orang-orang Kristen merasa bahwa mereka tengah
berada di bawah pengepungan. Ketakutan ini tidak terbatas hanya di
Nazareth atau di Tanah Suci. Di seluruh dunia Arab, orang-orang Kristen
bertanya, apakah mereka adalah spesies yang berbahaya: diancam oleh orang-orang Islam radikal;
ditekan oleh kesempatan-kesempatan yang terbatas di tanah kelahiran
mereka sendiri, sehingga banyak dari mereka akhirnya mencari hidup yang
baru di negara-negara lain. Oleh para predator asing, mereka juga
dituduh terlibat dalam rencana jahat, dan sekarang terancam oleh
gelombang revolusi yang merobek-robek wilayah itu. Banyak orang menjadi
takut, bahwa situasi yang terjadi di Timur Tengah saat ini bisa
memunculkan konflik sektarian.
Dua kali pembunuhan besar-besaran yang terjadi
di Gereja Our Lady of Salvation di Baghdad pada Oktober tahun lalu, dan
di Gereja Koptik yang ada di Alexandria pada saat perayaan Tahun Baru,
semakin memperbesar perasaan takut di kalangan orang-orang Kristen,
bahwa sedang terjadi penganiayaan modern dengan tujuan mengosongkan
tanah Arab dari orang-orang Kristen. Saat ini, jumlah orang Kristen di
negara-negara Timur Tengah paling hanya tinggal 15 juta dibandingkan
orang-orang Muslim yang berjumlah 300 juta.
“Kami saat ini ada dalam era baru penganiayaan
Kristen,” kata Rifa’t Bader, seorang imam Katolik Yordania, yang
jemaatnya saat ini umumnya terdiri dari para pengungsi yang selamat dari
kekejaman para jihadis di Irak. “Kami adalah korban dari hal-hal yang
kami tidak bertanggungjawab atas hal itu, apakah pendudukan Israel
(terhadap tanah Palestina) atau kebijakan Amerika di Timur Tengah,
khususnya [pendudukan] Irak.”
Irak adalah kasus yang terpisah. Setelah invasi
Anglo-Amerika pada tahun 2003, orang-orang Kristen Assyrian yang
merupakan penduduk asli, kebanyakan adalah orang-orang Chaldean, harus
menanggung penganiayaan sehingga banyak dari mereka akhirnya
meninggalkan Irak, sehingga menyebabkan jumlah mereka berkurang dari
sebelumnya 1 juta orang menjadi hanya 400 ribu orang saat ini. Seorang
pengungsi di Amman, yaitu profesor kimia berusia 66 tahun, bernama Abu
Sinan mengatakan: ”Di negara saya, kami sudah ada dan tinggal
bersama-sama dengan orang-orang Muslim selama kurun waktu 1400 tahun.
Tetapi sekarang kami mengalami disintegrasi hanya dalam kurun waktu 5
tahun.” Bagi orang-orang Kristen Arab di sekeliling wilayah itu, ini
adalah sebuah tragedi.
Riah Abu el-Assal, seorang Palestina dan mantan
bishop Anglikan dari Yerusalem, mengatakan satu bulan sebelum invasi
tersebut, bahwa ia secara personal sudah memperingatkan Tony Blair,
perdana menteri Inggris pada saat itu, “Engkau bertanggungjawab
mengosongkan Irak, negeri Abraham, dari orang-orang Kristen.” Setelah
hampir 2000 tahun, orang-orang Kristen Irak sekarang berpotensi
mengalami kepunahan. Beberapa dari wali gereja mereka sendiri bahkan
menasehatkan mereka untuk pergi meninggalkan negaranya.
Maher, 24 tahun, biasanya menjaga gereja yang
ada di al-Jadriya Baghdad dari serangan-serangan kaum militan Islam. Ia
mengatakan bahwa saat ini hanya ada lima orang keluarga Kristen yang
masih tinggal. Sekarang ia tengah menunggu di Amman untuk bergabung
dengan orang-orang yang selamat dari antara keluarganya, yaitu mereka
yang saat ini sudah berada di Amerika Serikat. “Sayangnya pilihan saya
menjadi sangat sederhana: apakah tetap tinggal dan bisa terus hidup atau
tidak,” katanya.
Tetapi jika orang-orang Kristen Irak memahami
pewahyuan, bahkan saudara seiman mereka di negara-negara lain juga mulai
merasakan hal yang sama di negara-negara nenek moyang mereka sendiri –
meskipun banyak orang yang mendorong bangkitnya visi yang lebih segar
yaitu kebebasan dan demokrasi.
Di Mesir, revolusi anti sektarian di alun-alun
Tahrir, diikuti dengan kerusuhan antara Kristen Koptik (jumlahnya 10
persen dari orang-orang Mesir) dengan orang-orang Muslim, menimbulkan
kecurigaan bahwa elemen-elemen dari rejim Hosni Mubarak yang sudah
ditumbangkan, tengah mencoba untuk menimbulkan friksi di antara kedua
komunitas.
Di Yordania, minoritas Kristen bisa berkembang
dengan baik di bawah sayap perlindungan monarki Hashemit. Orang Kristen
Yordania menguasai atau menjalankan sekitar sepertiga dari ekonomi
negara tersebut, meskipun populasi mereka kurang dari 3 persen. Tetapi
semakin maraknya korupsi dan kesulitan ekonomi di negara ini, bisa
mengancam posisi mereka, dan juga posisi Raja Abdullah.
Di Suriah, dimana jumlah orang Kristen adalah
10 persen dari populasi, mereka merupakan sekutu dekat rejim Bashar
al-Assad. Suriah sendiri diperintah oleh minoritas Alawit melalui partai
Ba’ath. “Ketakutan orang Kristen Suriah adalah, jika rejim ini jatuh ke
tangan mayoritas Sunni, maka mereka pun akan diperlakukan sama dengan
orang-orang Alawit,” demikian kata salah seorang pengamat Suriah yang
tinggal di Beirut.
Rejim Assad sudah melaksanakan toleransi
keagamaan. Orang-orang Suriah, saat ini melihat setan-setan sektarian
yang ada di Irak telah lepas dari kandangnya, dan sebelumnya juga sudah
terjadi di Lebanon. Sebab itu mereka khawatir, jika rejim ini tumbang
akan terjadi konflik sektarian sebagaimana yang pernah terjadi di
Balkan. Raymond Moussalli, seorang warga Suriah dan imam Chaldean di
Amman, bernyanyi dengan suara berbisik, sebuah nyanyian dalam bahasa
Aramaik – bahasa yang sama yang dipakai oleh Kristus dan masih dipakai
oleh sejumlah kecil orang-orang Suriah. Ia mengatakan, ”Jika
sektarianisme masuk ke dalam Suriah, maka seluruh wilayah ini akan
meledak, khususnya di Yordania dan Lebanon.”
Orang-orang Kristen yang sebelumnya memerintah
di Lebanon, yaitu melalui sekte Maronit, mengalami kekalahan lewat
perang sipil tahun 1975-1990, dan sekarang mereka terbagi atas
faksi-faksi yang beraliansi dengan Muslim Syiah yang dipimpin oleh
Hezbollah, dan sisa-sisa partai tua Phalangis, yang memilih untuk
beraliansi dengan kaum Sunni. Perang dan imigrasi membuat jumlah mereka
berkurang menjadi hanya sekitar sepertiga dari populasi Lebanon.
Namun, orang Lebanon dari semua sekte, banyak
dari mereka yang berhasil ketika tinggal di luar negeri, khususnya dalam
bidang finansial dan industri-industri pelayanan. Pada saat yang sama,
mereka pun masih tetap punya ikatan dengan tempat kediaman mereka. Lebih
daripada itu, bagi banyak orang Arab, orang-orang Kristen sanggup
menawarkan sebuah jendela budaya dunia yang menyenangkan, demikian kata
Kamal Salibi, seorang sejarawan Lebanon. “Teluk adalah sebuah koloni
Levantin. Orang-orang Levantin tidak menjalankan kekuasaan politik,
tetapi mereka bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar. Mereka umumnya
disukai oleh semua orang,” ia menambahkan. “Orang-orang Saudi, lebih
suka bekerjasama dengan orang-orang Lebanon, dan bukan hanya itu,
khususnya dengan orang Kristen Lebanon.”
Di Israel dan wilayah yang dikuasai oleh
Palestina, tekanan untuk bermigrasi juga cukup kuat, baik bagi orang
Muslim maupun Kristen. Tetapi bagi orang-orang Kristen, sering karena
mereka berpendidikan lebih baik, sebagaimana yang terlihat dari pasport
mereka, lebih mudah untuk pergi meninggalkan Palestina. Fenomena ini
sudah mulai sejak era Ottoman. Ketika Israel menguasai wilayah Timur
Arab Palestina pada perang Arab-Israel tahun 1967, masih ada 28.000
orang Kristen Palestina di wilayah ini. Sekarang hanya tinggal 5000
orang dan jumlahnya terus menurun. Bishop Abu el-Assal memperlihatkan
pada bagian Latin Nazareth, yang secara tradisional merupakan tempat
dimana berdiri gereja-gereja Roma Katolik, Yunani Ortodoks dan Maronit.
“Saya ragu jika masih ada lima persen orang Kristen di wilayah itu,”
katanya.
Kepemimpinannya sebagai bishop Anglikan
ditetapkan oleh Raja Prusia pada tahun 1841. Lama sebelum itu,
orang-orang Kristen berada di barisan depan ketika orang-orang Arab
tengah berusaha keras untuk menguasai Yerusalem. Saat berada dalam
tekanan dari Bizantium, mereka kemudian membantu Kalifah Umar untuk
menaklukkan Yerusalem pada tahun 638 dan kemudian Sultan Saladin
menguasai kembali kota suci itu dari tangan pejuang perang salib
(Crusader) di tahun 1187. Raouf Abu Jaber, seorang sejarawan yang
belajar di Oxford, dan yang memimpin dewan Ortodoks Yunani untuk
Yordania dan Palestina mengatakan: “Saya mengingatkan orang-orang
Muslim, bahwa mereka tidak akan berhasil mengambil alih tanah ini jika
bukan karena dukungan dari orang-orang Kristen asli, yaitu orang-orang
Arab.”
Orang-orang Kristen – dan juga orang Yahudi –
membantu perkembangan peradaban Islam dengan memprogandakannya ke dalam
legasi Helenistik. Di tengah-tengah kemerosotan yang tengah mereka
alami, justru merekalah yang memelihara warisan itu dan juga bahasa
Arab. Orang Kristenlah yang mendorong “kebangkitan Arab” pada abad ke 19
dan 20, bukan hanya lewat politik Arab tetapi juga melalui pendidikan,
penerbitan, pengobatan dan ilmu pengetahuan.
Sikap terbuka pada dunia dan menjadi penentang
orang-orang Ottoman Turki menjadikan orang-orang Kristen Arab memiliki
sebuah logika yang tepat. “Arabisme diluncurkan oleh orang-orang
Kristen, sebagian merupakan bentuk pertahanan diri menghadapi Ottoman
Turki,” kata Fadi Malha, seorang pengacara Maronit. “Jelas hal itu tidak
dilakukan oleh Sunni Islam, karena itu adalah agama dari kekaisaran
Ottoman.”
Nasionalisme Pan-Arab menjadi alibi dari sebuah
jaringan kerja sama orang-orang kuat Sunni, yang secara umum didukung
oleh barat. Ia berubah menjadi sebuah ideologi yang liar dan mengarah
pada pemerintahan otokratis – yang sesungguhnya ditolak oleh orang-orang
Kristen. “Orang-orang Kristen menjadi terlalu elitis, terkait dengan
status quo dan terperangkap dalam status mereka sebagai minoritas,” kata
Philip Madanat, seorang aktifis evangelikal di Yordania. “Mereka tidak
menjalankan reformasi meskipun mereka bisa melakukannya. Mereka sedang
kehilangan keunggulan mereka pada masa lampau. Mereka mendukung
keberagaman tetapi terpaut dengan rejim-rejim ini. Mereka siap pergi
ketika situasi menjadi buruk, sementara tanggungjawab mereka adalah
untuk menjadi pelaku utama perubahan sosial.”
Pangeran Hasan bin Talal, saudara Raja Hussein
dari Yordania yang sudah meninggal, adalah seorang penasehat dialog
antar agama yang bekerja cukup lama. Ia mengatakan bahwa orang-orang
Kristen “harus mendorong pemisahan antara agama dengan negara demi
kepentingan nasionalisme Arab”. Namun demikian, orang-orang Kristen di
Timur harus melakukan lebih banyak lagi untuk mengembangkan garis cerita
mereka sendiri.
“Ancamannya bukan hanya untuk orang Kristen
tetapi juga Islam, dan kepada agama secara keseluruhan. Satu-satunya
cara untuk menghentikan ekstrimisme adalah dengan mengembangkan otoritas
moral,” demikian argumennya. Di era post-Ottoman, sebagian masalah
terjadi karena pemahaman mengenai negara, bangsa dan otoritas, semuanya
campur aduk, disamping karena keterkaitan orang Muslim dengan Ummah,
yaitu “bangsa” Muslim sedunia, yang bahkan memberikan seorang Muslim
Indonesia – hak yang lebih tinggi – dibandingkan dengan seorang Arab
yang beragama Kristen.
Sekarang, bisakah semuanya itu dibentuk kembali
dalam sebuah kebangkitan Arab yang baru? Sejumlah orang Kristen
berpikir hal itu bisa dilakukan. Tareq Mitri, seorang menteri kabinet
Lebanon yang sebelumnya bertugas di Dewan Gereja-Gereja Sedunia,
mengatakan bahwa kebangkitan kaum Islamis melalui Revolusi Islam Iran
pada tahun 1979 “sebagian menjelaskan mengapa banyak orang Kristen
mendukung rejim-rejim yang masih tersisa” – khususnya ketika para
pemimpin Arab menipu penduduknya dan juga masyarakat Barat, sehingga
mereka percaya bahwa satu-satunya alternatif terhadap kelaliman yang
mereka lakukan adalah pemerintahan teokratis Islam. Tetapi, “dengan apa
yang sedang terjadi di wilayah ini, orang melihat bahwa kaum Islamis
tidaklah sedemikian berpengaruh sebagaimana mereka pada waktu yang
lampau.”
Mr Madanat berargumen, “orang-orang muda [kaum
revolusioner] tidak melakukan hal ini karena mereka adalah orang Kristen
atau Muslim. Mereka ingin perubahan [dan] kita pun membutuhkan mercu
suar itu.
Namun sejumlah orang Maronit, sampai sekarang
melihatnya sebagai sebuah barometer yang akan membawa kesejahteraan bagi
orang-orang Kristen di wilayah ini. Mereka lebih suka dengan kehidupan
kesukuan masa lampau dibandingkan dengan kehidupan plural masa kini.
Samir Franjieh, seorang intelektual kiri dari sebuah klan Maronit,
melihat sebuah kesempatan. “Jika orang-orang Muslim dan Kristen
mengambil bagian dalam pergulatan yang umum demi nilai-nilai yang sama,
maka masalah ko-eksistensi bisa diatasi. Kita harus menggerakkan sebuah
nahda (kebangkitan) baru di bagian dunia ini dan inilah saatnya bagi
orang-orang Kristen untuk memainkan sebuah peran yang proaktif, bukan
hanya sekedar bertahan, dalam sebuah Arabisme baru, yaitu yang
demokratik dan plural, bukannya yang bersifat nasionalis.
Bahkan Abu Sinan, profesor kimia yang mengungsi
dari Irak, mulai berpikir lebih jauh dari sekedar masa depannya. “Ada
lebih banyak harapan setelah revolusi shebab (orang-orang muda) ini.
Mereka masih muda dan mempunyai pemikiran terbuka, dan sedang
menciptakan masa depan mereka dengan tangan mereka sendiri. Kesalahan
kita adalah mempermuliakan para jenderal dan bukannya para ilmuwan.”
Namun demikian, yang masih menghantui
Mediteranian Timur adalah semakin hilangnya orang-orang Kristen di
wilayah ini, bukan hanya karena itu akan mencabut akar warisan yang
sudah berusia 2000 tahun, tetapi karena juga bisa menghanguskan jembatan
antara timur dan barat.
“Keindahan tanah ini adalah bahwa ia merupakan
sebuah mozaik,” kata Bishop Abu el-Assal di Nazareth. “Jika orang-orang
Kristen pergi, hal apa lagi yang masih tinggal? Timur Tengah
merepresentasikan percampuran peradaban dari ketiga iman Abraham. Jika
akhirnya mozaik ini hilang, ia akan menjadi sebuah Terra Santa, sebuah
museum.”
Sumber: buktidansaksi.com
Oleh: David Gardner
Sumber: http://www.answering-islam.org/indonesian/isu-isu-terkini/kesulitan-kristen-timur-tengah.html
Komentar
Posting Komentar